SUMBER : http://pilmandarin.blogspot.com/2014/01/bahasa-mandar.html
Mengapa di Papua terdapat begitu banyak bahasa? Yang telah terdata ada
kurang lebih 350 an bahasa kendati mereka sama berasal dari suku bangsa
yang sama, suku bangsa Papua. Salah satu factor yang mungkin adalah
tidak adanya satu kerajaan atau pemerintahan yang kuat yang mengikat ke
luar dan ke dalam serta menjamin suatu kesatuan bahasa, adat dan budaya.
Yang di kenal hanya ada kerajaan Fakfak yang tentu saja karena kendala
geografis yang luas dan sulit, menjadikannya tak mampu berperan menjadi
unsur pemersatu kebuadayaan . Akibatnya perang antar suku masih sering
terjadi di sana hingga kini.
Berbeda dengan di Jawa, di sana ada kerajaan Mataram kuno, Singosari
atau Majapahit yang kendati berbeda visi pemerintahan satu sama lain,
namun tetap secara alami dan sosial, menjaga kesinambungan adat dan
budaya, karena adanya komitmen yang sama pada keajegan dan kesinambunga
bahasa, yakni bahasa Jawa. Jadi bahasa adalah faktor pemersatu sebuah
suku di masa lalu di samping faktor agam tentunyaa. Itulah juga sebabnya
kita bisa menjadi satu Indonesia, karena komitmen dan persatuan bahasa,
yaitu bahasa Indonesia. Komitmen kebangsaan dan kesatuan tanah air,
akan rapuh bila tanpa adanya persatuan bahasa. Dengan kesamaan bahasa
atau adanya lingua franca, maka agama-agama dan kerajaan-kerajaan, serta
suku-suku yang ada di nusantara bisa bersatu padu memdirikan dan
membangun NKRI.
Bagaimana dengan eksistensi bahasa daerah? Kaitanya dengan budaya etnik.
Mari kita lihat Mandar. Mungkin yang bisa disebut sebagai benteng atau
fondasi bagi eksistensi ke Mandaran kita adalah fakta sejarah keberadaan
kerajaan atau ammara’diang Balanipa. Kita bisa merujuk ke sana sebagai
batu penjuru yang mengarahkan sehingga tetap bertahannya eksistensi
bahasa Mandar dan budayanya. Jika di kerajaan Banggae, tokoh sentral
mula berdirinya adalah To Pole-pole yang datang dari Goa, maka di
Sendana adalah Daeng Pallulung saudara Daeng Tumana, Tomakaka Tabulahan
dari wilayah Pitu Ulunna Salu. Artinya, pada ke dua kerajaan tersebut,
aspek adat sebagai fondasi pendirian kerajaan kurang kental, meski pada
akhirnya, raja-raja dan keturunannya akhirnya juga karam dalam lautan
adat dan budaya Mandar.
Balanipa berbeda dengan Banggae dan Sendana, raja pertamanya adalah
orang Mandar asli, dan naiknya jadi raja karena faktor kesepakatan para
hadat Appe’ Banua Kayyang. Nah, para puang dari empat persekutuan adat
inilah yang juga bersepakat membenruk sebuah kerajaan sebagai pemersatu
dari persekutuan-persekutuan adat yang ada. Ke-empat pepuangan sebagai
cikal bakal kerajaan Balanipa itu adalah ; Napo, samasundu, Mosso dan
Todang-todang. Kekuasaan dijalankan secara kolegial bersama mara’dia.
Yang menarik adalah di wilayah inti Balanipa ( Kernland ), Tinambung
sekarang ( eks distrik-distrik Limboro, Biring Lembang, Batulaya dan
sebagian Allu) serta sebagian kecamatan Campalagian ( Eks distrik Kenje
dan Tenggelang ), bahasa yang dipakai adalah hanya bahasa Mandar. Hanya
di wilayah persekutuan adat lain, seperti Campalagian, Mapilli, Tapango,
Allu, Taramanu, dan Tubbi terdapat bahasa atau dialiek masing-masing.
Dalam setiap perjanjian persatuan atau kerja sama antara Balanipa dengan
persekutuan adat lainnya atau Assitalliang, tentu saja yang
dipergunakan sebagai media komunikasi atau dialog adalah bahasa Mandar.
Begitu juga dalam konteks yang lebih luas, yakni muktamar Tammajarra I
yang mempersatukan kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga. Sejatinya
dalam setiap wadah persatuan, harus ada media komunikasi yang difahami
bersama, maka itu adalah bahasa Mandar. Dengan bersatunya semua
wilayah-wilayah PBB dalam menggunakan bahasa Mandar sebagai lngua
franca, maka beridirilah apa yang disebut suku Mandar dengan bahasa
Mandar sebagai perekat jiwa dan kerohanian mereka. Yang pada akhirnya
melahirkan kebudayaan dan peradaban Mandar Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar